Tentang Cara Memberi Saran ( nasehat )
Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan saudara sepupu yang sempat protes (atau lebih tepatnya mungkin mempertanyakan) tentang "memberikan saran".
Jujur saya cukup sulit menjelaskan, karena saat itu baru mempelajari tentang pola perubahan, bagaimana internal motivation jauh lebih kuat, bagaimana external motivation malah bisa melemahkan (judgemental/sisnis), bagaimana mengelola asumsi dalam komunikasi.
Alhamdulillah, menemukan pesan dari Pak Prasetya M Brata https://www.facebook.com/prasetya.dua
Silahkan disimak :
“Dalam Surat Al-Ashr kita dianjurkan/diperintahkan untuk saling memberi nasihat. Itu bagaimana, Pak? Bahkan termasuk orang-orang yang rugi adalah yang tidak mau memberi nasihat tentang kebenaran dan kesabaran."
+ Benar mas. Jika kita tidak saling memberi nasihat, kita berpotensi menjadi korban dari ketidaktahuan, kekhilafan, dan kegoblokan orang lain. Juga berpotensi luput dari menyembuhkan ketidaktahuan, kekhilafan, dan kegoblokan diri sendiri.
Ini tinggal persoalan ‘metodologi’ memberi nasihat, yang perlu pas dan cocok sehingga nasihat itu tidak ditolak, didengar, dipahami, dan direspon sesuai nasihat. Metode memberi nasihat dapat membuat nasihat tidak berhasil.
Memang benar, kita hanya bertanggungjawab UNTUK menyampaikan nasihat, tidak bertanggungjawab ATAS keputusan orang itu menerima nasihatnya atau tidak. Namun kita juga memiliki potensi untuk melakukan pemberian nasihat dengan best-practice untuk mengurangi potensi kegagalan nasihat sekaligus menaikkan potensi keberhasilan nasihat.
Misalnya soal ketepatan nasihat. Masalahnya apa, yang dinasihatkan apa. Tidak nyambung. Isinya juga judgemental-subjektif, atau melulu menggunakan kacamata sendiri.
Juga soal konteks waktu dan tempat. Orang sedang tidak butuh nasihat kok dinasihati. Dinasihati kok di depan umum tanpa keridhoan orang itu.
Kemudian soal hubungan dan izin. Pribadi kita belum diterima, atau belum diizinkan oleh orang itu, atau belum punya otoritas di mata orang itu, sudah langsung mengkhotbahi, menggurui, bahkan mendikte.
Lalu soal kata-kata yang digunakan. Menasihati pakai bahasa dan gestur yang ambigu, bertele-tele, tidak ‘inderawi’, tidak jelas maksudnya, nyinyir, apalagi hate-speech.
Lantas soal niat dan keikhlasan. Menasihati dengan niat untuk kepentingan diri sendiri saja, misalnya untuk ‘menunjukkan posisi kesalehan’, pamer ilmu; bukan untuk kepentingan kebaikan orang itu. Boleh jadi termasuk meng- komoditisasi nasihat dengan niat tertinggi –bahkan satu-satunya– menaikkan followers.
Namun jika skill menasihati belum punya namun punya maksud baik untuk suatu kebaikan, maka nasihatkan saja, dengan pertolonganNya, nanti pesannya akan sampai kepada yang diberi nasihat.***
Gabung dalam percakapan